Last Updated on 5 months by Mas Herdi
Sudah sejak 2022 yang lalu sektor IT mengalami yang namanya Tech Winter, atau musim dingin, yang bermakna bahwa sektor IT atau perusahaan-perusahaan teknologi informasi sebagian besar sedang mengalami kesulitan. Banyak di antaranya yang tumbang, terpaksa mengurangi biaya operasional, mengurangi karyawan, aset dan sebagainya. Semua itu dilakukan supaya bisa bertahan di dalam badai Tech ini.
Penyebab Tech Winter
Kira-kira apa penyebab tech winter? Jika saya amati ada beberapa penyebab, di antaranya sebagai berikut:
- Tech Bubble Burst
Sebelum pandemi sektor IT mengalami perkembangan yang sangat pesat, ditandai dengan munculnya berbagai macam perusahaan teknologi yang mempunyai valuasi tidak hanya unicorn, tapi hingga decacorn. Para investor juga ramai-ramai mengeluarkan dana untuk investasi di startup yang sekiranya menjanjikan. Semua fokus kepada growth atau perkembangan dari perusahaan sendiri, dan hanya sedikit atau hampir tidak ada yang fokus ke profit. Jadi sebagian besar perusahaan itu merugi.
Lambat laun perusahaan yang sudah menerima investasi milyaran dollar itu beberapa ada yang ternyata valuasinya tidak seindah yang dijanjikan. Contohnya seperti WeWork, yang valuasinya terjun bebas setelah IPO. Kemudian Theranos yang terkena fraud, UBER yang terus merugi, dan banyak lainnya.
Di Indonesia kita sendiri mendengar nama-nama seperti Qlapa, Warung Pintar, Blanja, Qlue, Kecipir, Elevenia, JD.ID, iGrow dan lain sebagainya yang semuanya tidak lagi terdengar namanya sekarang. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah perusahaan IT sebenarnya bisa mendatangkan keuntungan?
Tentu saja melihat kerugian besar yang dialami investor kakap sekelas SoftBank, membuat investor-investor lain dan SoftBank sendiri tidak lagi gampang dalam memberikan pendanaan. Jika tidak ada dana investor sebagian besar startup yang masih dalam tahap pertumbuhan pun mau tidak mau akan tumbang karena mereka tidak mampu bakar uang lagi. - Koreksi Pasca Covid
Pada saat pandemi Covid, hampir semua orang disuruh kerja dari rumah, belajar dari rumah, kuliah dari rumah dan sebagainya. Karena tidak boleh keluar rumah, maka orang-orang lebih banyak menghabiskan waktunya di depan laptop atau di smartphone mereka. Hal ini membuat perusahaan seperti Google dan sosial media Facebook mengalami lonjakan pengunjung yang berdampak baik ke bisnis mereka. Akhirnya mereka pun ramai-ramai menambah karyawan guna mengimbangi trafik yang naik, dan merilis banyak fitur baru. Namun setelah pandemi Covid mereda, dan orang-orang kembali ke aktivitas mereka masing-masing, kembali ke luar rumah. Trafik atau pengunjung dari website besar seperti Google dan Facebook pun ikut berkurang. Akhirnya mau tidak mau mereka mengurangi karyawan dikarenakan pemasukan tidak sebesar sewaktu pandemi. - Perang dan Kondisi GeoPolitik
Perang yang berkepanjangan di Eropa dan Timur Tengah juga ikut ambil andil dalam Tech Winter ini, dimana boikot-boikot yang dilakukan negara-negara Eropa terhadap produk Rusia malah menjadi boomerang bagi mereka dan menyebabkan krisis resesi dimana-mana, contohnya seperti di Inggris. Kondisi ekonomi yang seperti ini membuat perusahaan startup atau unicorn yang belum bisa profit atau break-even kalang kabut, dan bahkan hingga bangkrut.
Pada saat Tech Winter ini, apalagi setelah pandemi COVID, saya pun merasakan banyak dampaknya. Selain banyak ecommerce marketplace yang tutup seperti MatahariMall, JD.ID, Elevenia, Qoo10, Blanja dan lain sebagainya. Saya juga merasakan dampaknya di sektor logistik, dimana dulu ketika saya menjual barang di ecommerce seperti Tokopedia, kurirnya lah yang akan menjemput barang kita ke rumah. Biasanya kurirnya dari AnterAja. Sekarang boro-boro kurirnya yang ambil barang kita di rumah, kurir-kurir seperti SiCepat, AnterAja, cabangnya menjadi sedikit sekali. Dulu di sekitar rumah saya ada 2-3 cabang dari SiCepat, satu SiCepat biasanya satunya SiCepat KARGO yang berupa gudang warehouse yang besar. Sekarang untuk kirim barang ke SiCepat saja harus ke Kantor Pos yang jaraknya lumayan jauh. Karena kurir-kurir seperti SiCepat, AnterAja, dan lain sebagainya pengirimannya digabung jadi satu di Kantor Pos. Dan banyak cabang yang ditutup.
Selain itu dari raksasa teknologi lainnya seperti Google, jaman dulu saya ingat bahwa Google adalah salah satu perusahaan yang sering memberikan layanan gratisan. Dan salah satunya adalah unlimited Photo Storage, sekarang tempat penyimpanan foto di Google Photos kapasitasnya sudah dibatasi dan tidak lagi unlimited, Google Drive juga dikurangi kapasitasnya. Sehingga kalian tidak bisa membackup foto atau file lagi ke Google Photo/Google Drive apabila kapasitasnya sudah penuh, dan harus membeli paket langganan berbayar. Saya ingat sekali jaman masa-masa awal 2010-2019 an itu Google Photo mempunyai unlimited storage. Dan juga sekarang jika kalian tidak pernah login ke akun Google selama 2 tahun lebih, maka akun Google dan email kalian akan dihapus secara otomatis. Perubahaan ini tidak hanya di produk-produk yang digunakan oleh consumer, namun juga di produk lainnya seperti Google Analytics.
Servis lainnya yang terkena impact dari Tech Winter ini dan saya pun juga merasakannya, adalah WordPress. Dan menurut saya caranya lumayan parah karena dengan menonaktifkan fitur dan membuatnya jadi fitur berbayar. Fitur yang saya maksud adalah, WordPress Stats atau JetPack Stats.
Sekarang jika kalian masuk ke halaman Stats di WordPress, maka akan muncul tampilan seperti berikut:
Cara mereka menonaktifkan fitur Jetpack/Wordpress Stats ini adalah dengan cara berkata kalau akan ada versi Stats yang baru (yang berbayar). Namun pengguna tidak diberikan pilihan apabila mereka masih mau menggunakan versi Stats yang lama.
WordPress Stats setahu saya sudah gratis sejak belasan tahun yang lalu, bahkan sejak 2009. Dan sekarang ini menjadi fitur berbayar jika website kalian memasang iklan atau mempunyai link affiliate. Ini adalah hantaman bagi yang lagi merintis situs AdSense atau Affiliate, karena tentu penghasilan kita di awal-awal masih kecil. Dan jika tidak ada fitur Stats di WordPress, maka kita harus menginstall plugin analytics tambahan seperti Google Analytics yang lebih kompleks secara pengunaannya.
Dan yang terakhir adalah Google AdSense itu sendiri, saya merasa sekarang iklan AdSense yang muncul di blog saya menjadi lebih sedikit, walaupun saya sudah integrasi dengan Google SiteKit. Yang secara tidak langsung juga berpengaruh ke pendapatan AdSense saya.
Menyikapi Tech Winter
Sebagai seorang yang practical dan pragmatis, sebenarnya Tech Winter ini sudah bisa diprediksi. Sama seperti bubble-bubble sebelumnya seperti Tulip Bubble, DotCom Bubble, Property Bubble dan yang lainnya. Sama seperti pabrik gula booming di Jawa saat penjajahan Belanda, hingga beberapa puluh tahun setelahnya. Dimana kerja di pabrik gula itu ibaratnya seperti kerja kantoran di SCBD. Sesuatu yang mengalami valuasi tidak masuk akal pada akhirnya akan mengalami koreksi.
Startup kebanyakan hanya memikirkan tech sebagai gimmick atau aksesori saja dan belum memikirkan hingga ke level bagaimana tech diimplementasikan supaya mendapatkan profit atau keuntungan. Saya sendiri mendukung hal ini supaya perusahaan Teknologi lebih memikirkan soal profit ke depannya dan bukan hanya growth.
Di satu sisi Tech Winter ini berhasil memberantas beberapa perusahaan fraud yang merugikan banyak orang, seperti Theranos. Dan menyadarkan perusahaan-perusahaan seperti WeWork dan sejenisnya bahwa bakar uang investor bukalah cara yang benar untuk bisa survive. Marketing saja tidak akan pernah cukup apabila produknya mlempem dan hanya gimmick belaka.
Bagaimana pendapat atau pengalaman kalian soal tech winter ini? Silahkan tulis di kolom komentar ya.