Review Novel : The Fault in Our Stars

Last Updated on 11 years by Mas Herdi

Hei semua, kali ini saya akan me-review sebuah novel berjudul “The Fault in Our Stars”. Sebenernya banyak juga buku-buku yang mau saya buat review-nya di sini, seperti series Agatha Christie dua buku terakhir “Towards Zero” dan “Perils at End House”. Hahaha Ingatkan saya ya, nanti kalau sempat bakalan dibuat review-nya. Walau sebenarnya udah lumayan lupa juga jalan ceritanya. :p

Jadi ini adalah review novel The Fault in Our Stars karangan John Green, saya baca buku aslinya yang berbahasa Inggris. Beli di Books and Beyond. Kabarnya buku ini sudah terbit bahasa Indonesianya dan berjudul Salahkan Bintang-bintang, agak miss juga dari terjemahan aslinya. Haha But it’s okay, here is the cover.

Okay, soal jumlah halaman, specs dan sebagainya silahkan Googling, karena nggak akan saya ceritain. haha Langsung saja ke reviewnya.

Pertama-tama, apa yang saya rasakan ketika membaca buku ini, dan membaliknya halaman demi halaman. Yeah, bagi seseorang yang suka membaca novel-novel klasik yang penuh dengan etika dan estetika seperti saya, kesan pertama yang saya tangkap adalah buku ini sangatlah “modern”. Dari bahasanya yang lumayan vulgar, frontal khas anak muda banget, sampai nilai-nilai moral yang disampaikan.

Buku ini bercerita tentang anak-anak pengidap kanker, yang sering bertemu pada semacam “support group” khusus. Cerita dinarasikan oleh si pemeran utama Hazel Grace yang mengidap kanker paru-paru, dan jatuh cinta oleh seorang pemuda yang diamputasi kakinya karena kanker  osteosarcoma bernama Augustus Waters, yang sedang dalam remisi.

Buku ini mengajarkan kita tentang semangat di saat masa-masa yang suram dan gelap, dark tragedy, dan juga kisah romantis yang indah namun juga kelam (untungnya karena yang mengarang buku ini adalah laki-laki, jadi tidak ada cinta segitiga di sini 🙂 ). Walau banyak teman-teman perempuan saya yang nangis waktu baca buku ini, tapi entah kenapa saya kurang mendapat feel-nya. Sedih sih memang, apalagi saya membacanya sambil mendengarkan alunan musik klasik Liebestraum No. 3 in A-Flat Major, G 541, Op. 62: “O lieb so lang’ du lieben kannst” yang diulang-ulang (sungguh, musik klasik tersebut saya rasa cocok kalian dengarkan waktu baca novel ini), saya hanya bisa termenung sedih, tapi tidak sampai nangis. Karena mungkin sejak awal sudah kurang sesuai dengan nilai moral yang disampaikan novel ini (cenderung Amerika sekali, sedangkan saya lebih ke Eropa, you know, klasik). Tapi ini novel yang bagus bagi kalian yang ingin bersedih-sedih, walaupun ada sedikit bagian yang seakan terpaksa ditulis, khususnya di bagian akhir novel.

Banyak review positif yang diberikan oleh media-media luar negeri tentang novel ini. Namun tampaknya saya lebih setuju dengan review dari Daily Mail, yang mengatakan bahwa novel ini “it’s mawkish at best, exploitative at worst”. Mungkin disebabkan oleh budaya eropa yang cenderung konservatif.

Yeah well, The Fault in Our Stars menyajikan perspektif berbeda tentang anak-anak yang berjuang melawan kanker, go wild, penuh dengan sarkasme, swearing, dan juga cinta ala barat, yang apabila dibuat oleh orang Timur mungkin cerita ini akan berkisah seputar kehidupan penderita kanker sehari-hari, yang relijius dan penuh dengan moral-moral positif.

Buku ini cocok bagi kalian yang ingin menyedihkan diri :D. Namun bagi kalian yang suka karya-karya klasik yang elegan, anggun, penuh dengan etika dan kata-kata sopan, kalian mungkin akan sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca ini, “Anak muda jaman sekarang, even cancer can’t stop them…”





Download aplikasi kami di Google Play Store


Tutorial Menarik Lainnya :

6 Comments
  1. anjar January 6, 2014
    • Hafizh Herdi Naufal January 6, 2014
      • firda April 3, 2014
  2. Natasha July 21, 2014
    • Hafizh Herdi Naufal July 21, 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TWOH&Co.